Ma Emin belum kelihatan, yang terlihat hanyalah nyala api dari tungku dan alat penerang yang biasa kusebut 'damar' atau ancor. Maklumlah waktu beroperasinya ma Emin dimulai sekitar jam 4 pagi, sebelum adzan subuh. Tapi dari baunya, dapat dipastikan sudah ada beberapa surabi yang matang. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, saya harus segera kesana supaya tidak kehabisan surabi oncomnya. Benar saja, di hadapan ma Emin sudah duduk beberapa pembeli yang sedang menunggu pesanannya. Wah sudah bangun sepagi ini masih saja harus mengantri...
Sambil menunggu pesanan saya dibuat, saya ngobrol kesana kemari dengan ma Emin, cerita tentang sakit encok yang dideritanya, atau cerita tentang tepung yang digilingnya kemarin kurang halus. Biasanya sambil ngobrol begitu, saya selingi dengan makan surabi yang satu persatu matang. Alhasil, dari pesanan 10 surabi, hanya 6 yang saya bawa pulang, karena yang 4 sudah masuk perut ...
Sadar tidak bisa tiap hari atau tiap minggu atau tiap bulan bisa pulang kampung, saya tanya resep pembuatan surabinya. Pernah suatu kali saya coba dibuat di rumah, alhasil gagal total tidak karuan. Adonannya nempel di cetakan, bantat dan gosong. Padahal kalau saya lihat cara di membuatnya, sangat sederhana. cukup dengan mencampurkan tepung beras, kalapa parut, garam dan air, di kocek-kocek sebentar, dipanggang, jadi deh ...
Ma Emin in action |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar